Kamis, 14 Januari 2016

Pendidikan Berkeadilan Sosial

Pasal 31 UUD 1945 (Hasil Amandemen IV Tahun 2002) berbunyi : setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Hal ini menegaskan bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan dengan tidak membedakan latar belakang sosial ekonominya. Pemerintah selaku penyelenggara pemerintahan memiliki tanggung jawab untuk memberikan fasilitas pendidikan kepada setiap warga negaranya dalam rangka mencerdaskan bangsa.
Akan tetapi dalam praktiknya, pernyataan di atas hanya menjadi sebuah klise, karena dalam kenyataannya banyak ditemukan anak bangsa yang tidak bisa dan mampu menikmati bangku pendidikan atau terkena drop out disebabkan ketidakmampuan ekonomi keluarga mereka untuk membiayai pendidikan. Tidak sedikit pula di antara mereka yang menghabiskan waktunya untuk membantu mencari nafkah orangtua, atau bahkan menjadi tulang punggung perekonomian keluarganya.
Ironisnya, di satu sisi ketika pembangunan nasional sudah dilaksanakan selama berpuluh-puluh tahun, ternyata masih ditemukan banyak anak bangsa yang masih belajar di bawah temaram lampu minyak dengan fasilitas belajar seadanya. Di sisi yang lain banyak juga anak bangsa yang dituntut untuk membayar biaya pendidikan yang berjuta-juta bahkan berpuluh-puluh juta besarnya, sedangkan orangtua mereka hanya berprofesi sebagai buruh atau pemulung yang penghasilannya sudah tentu besar pasak daripada tiang.
Potret sosial masyarakat menjadi semakin kontras ketika pada saat yang lain, banyak di antara masyarakat yang belajar dengan menggunakan fasilitas belajar yang jauh lebih memadai, didukung dengan sarana pembelajaran yang sudah dilengkapi dengan peralatan teknologi mutakhir. Bahkan untuk urusan biaya pendidikan pun, mereka tidak merasa kesulitan walaupun harus mengeluarkan biaya yang berpuluh-puluh juta jumlahnya karena memang secara ekonomi mereka tergolong keluarga yang mampu.
Kondisi ini tentunya telah mendikotomikan masyarakat pendidikan kita ke dalam dua lapisan sosial masyarakat yang berbeda secara sosial-ekonomis. Tidak dipungkiri juga, hal ini merupakan cerminan dari dunia pendidikan kita yang belum menunjukkan sebuah konsep pendidikan yang berkeadilan sosial. Suatu konsep pendidikan yang bisa memberikan kesempatan kepada setiap warga negara agar mereka memiliki kesempatan yang sama dalam hal pendidikan.
Implikasi dari konsep pendidikan yang masih berasaskan pada ketidakadilan sosial, akan membentuk paradigma berpikir masyarakat cenderung economic oriented. Artinya mindset yang terbentuk di kalangan masyarakat akan memandang pendidikan sebagai lahan investasi ekonomi keluarga, yang lebih berorientasi pada profit ekonomi. Dalam konteks pola pikir yang demikian, profit ekonomi pendidikan akan dapat dicapai ketika anak didik sudah menyelesaikan bangku pendidikannya.
Tatkala pendidikan masih berasas pada ketidakadilan sosial, maka pada akhirnya akan berakibat pendidikan hanya bisa dinikmati oleh sekelompok orang tertentu saja, yang notabene mampu secara ekonomi. Adapun bagi masyarakat yang tidak mampu secara ekonomi, mereka hanya akan menjadi kaum marginal atau powerless di negeri ini dikarenakan ketidakberdayaannya dalam membiayai pendidikan anak-anaknya. Dalam hal ini pemerintah dipandang gagal memenuhi hak warga negaranya dalam penyelenggaraan pendidikan.
Kenyataan di atas bisa jembatani dengan cara menerapkan konsep pendidikan berkeadilan sosial. Konsep pendidikan ini bisa diwujudkan dengan beberapa cara antara lain : pertama, dengan mengadakan gerakan subsidi silang biaya pendidikan dari masyarakat yang mampu secara ekonomi kepada masyarakat yang tidak mampu. Kedua, pemberian buku-buku pegangan sekolah secara gratis kepada siswa-siswa sekolah. Ketiga, perlunya perubahan paradigma berpikir masyarakat dengan menempatkan pendidikan formal sebagai sarana pencerahan peradaban warga masyarakat menuju ke arah peradaban yang lebih baik.

0 komentar:

Posting Komentar