Kamis, 14 Januari 2016

Guru, Objek Kambing Hitam

Begitu malangnya nasib guru. Guru sering dijadikan objek kambing hitam dari “kegagalan pendidikan” negeri ini. Ketika media massa ramai mempublikasikan tentang peristiwa tawuran, perkosaan, penganiayaan, perampokan, dan pembunuhan yang dilakukan kaum pelajar, gurulah yang pertama kali mendapat sorotan. Guru dianggap tidak berhasil dalam mendidik anak didiknya.
Demikian pula, ketika Bank Dunia melaporkan hasil penelitiannya tentang nilai rapor kualitas pendidikan kita yang masih rendah dibanding negara-negara tetangga lainnya, seperti Malaysia, Filipina, Kamboja, Thailand, dan Vietnam, guru juga yang menjadi kambing hitamnya. Sorotan demi sorotan negatif yang ditujukan kepada guru seakan tidak kunjung reda. 
Ketika puluhan ribu guru dari Jawa Barat berdemo mendatangi Gedung MPR/DPR, Istana Presiden, dan Gedung Depdiknas, yang disulut oleh pengumuman pemerintah tentang tunjangan jabatan dan tunjangan fungsional yang dirasa tidak adil, menghargai pejabat struktural yang selama ini menindas mereka dengan tunjangan jabatan yang jumlah melangit, dan memberi tunjangan fungsional yang tidak berarti kepada guru. Mereka mendapat kecaman dan cemoohan. 
Singkatnya, apapun yang dilakukan guru, baik yang terjadi di dalam kelas maupun di lingkungan masyarakatnya, selalu menjadi sorotan dari masyarakat luas. Parahnya lagi masyarakat selalu mensejajarkan guru layaknya seperti malaikat yang tidak akan pernah berbuat salah. 
Guru memang mudah dijadikan obyek kambing hitam. Ini bukan tanpa alasan, guru memiliki peran yang amat signifikan bagi setiap keberhasilan proses pembelajaran. Tetapi, masyarakat kadang lupa bahwa guru juga adalah manusia biasa yang tidak bisa lepas dari kesalahan, sehingga segala hal yang berkaitan dengan ketidakberhasilan pendidikan selalu ditimpakan kepada guru.
Masyarakat seharusnya bisa menilai secara proporsional bahwa banyak faktor yang menyebabkan ketidakberhasilan pendidikan baik faktor internal maupun eksternal. Sedangkan guru hanya merupakan pelaksana di lapangan saja. Dengan demikian, tidak t epat manakala ketidakberhasilan pendidikan selalu dilihat dari sisi sumber daya manusianya, tanpa melihat faktor-faktor pendukung lainnya.
Kita harus sadar bahwa guru adalah manusia biasa yang tidak bisa dilepaskan dari berbagai kebutuhan ekonomi demi kelangsungan hidup keluarganya. Sehingga sangat tidak tepat manakala kita banyak menuntut kualitas pendidikan yang lebih baik, sementara kualitas ekonomi sumber daya manusianya kurang diperhatikan. 
Dengan demikian, untuk memperbaiki kualitas pendidikan tidak cukup hanya dengan menuntut, tetapi upaya peningkatan kesejahteraan sumber daya manusianya jauh lebih besar implikasinya terhadap keberhasilan pendidikan. Sehingga rumor-rumor yang beredar selama ini tentang masih adanya guru ngojek, guru nglaju, guru nyambi, dan rumor-rumor negatif lainnya bisa dihilangkan, karena secara ekonomis kebutuhannya sudah dipenuhi.

Kurikulum Berbasis Kebingungan

Laporan Bank Dunia yang melaporkan rendahnya kualitas pendidikan mengindikasikan bahwa sumber daya manusia kita masih sangat lemah, jauh di bawah sumber daya manusia negara-negara tetangga seperti Malaysia, Filiphina, Singapura, Thailand, dan Vietnam. Potret buram dunia pendidikan ini memacu segenap komunitas yang berada di jajaran Departemen Pendidikan Nasional berusaha sekuat tenaga untuk memperbaikinya.
Upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan terus menerus dilakukan dengan berbagai macam cara. Salah satunya dengan mengadakan pembaharuan kurikulum. Pembaharuan kurikulum merupakan upaya yang sangat signifikan karena banyak sorotan bahwa rendahnya kualitas pendidikan disebabkan faktor kurikulumnya, walaupun sebetulnya faktor-faktor lainnya juga banyak yang mempengaruhinya.
Untuk mensikapi hal di atas, pemerintah mengeluarkan satu kebijakan baru tentang perlunya perubahan kurikulum, dari kurikulum 1994 menjadi kurikulum berbasis kompetensi (KBK). Perubahan kurikulum ini bukan tanpa alasan, tetapi melihat kebutuhan outcomes pendidikan ke depan, dibutuhkan sumber daya manusia yang bukan hanya memiliki kecakapan kognisi saja, tetapi juga memiliki kecakapan emosional dan tingkat kompetensinya yang memadai. 
Sayangnya setiap terjadi perubahan kebijakan dari pusat apapun bentuknya terkesan seolah dipaksakan dan tergesa-gesa. Hal ini bisa dilihat dari tidak adanya perubahan-perubahan yang mendasar dalam hal infrastruktur pendukungnya. Sehingga walaupun secara konseptual, muatan kurikulum itu sendiri cukup bagus, tetapi ketika tidak disertai dengan persiapan-persiapan infrastrukturnya yang komprehensif, dikhawatirkan perubahan kurikulum tersebut tidak akan banyak memberikan kontribusi bagi peningkatan kualitas pendidikan.
Salah satu contoh konkret seperti terjadi sekarang ini, perubahan kurikulum 1994 menjadi kurikulum berbasis kompetensi (KBK). Sosialisasi kurikulum berbasis kompetensi sudah dijalankan terlebih dahulu, bahkan tidak sedikit sekolah yang sudah mengimplementasikannya. Tetapi, karena infrastruktur yang mendukung ke arah pelaksanaan kurikulum itu sendiri belum dipersiapkan secara matang, sehingga implikasinya, guru sebagai pelaksana di lapangan menemukan banyak kesulitan-kesulitan.
Belum match-nya antara pokok bahasan pada kurikulum 1994 dengan pokok bahasan pada kurikulum berbasis kompetensi pada kelas tertentu merupakan salah satu contoh kendala dari pelaksanaan kurikulum tersebut. Sehingga materi pelajaran yang sedianya sudah diajarkan di kelas sebelumnya harus diajarkan kembali di kelas berikutnya. Hal ini tentu hanya menghabis-habiskan biaya, waktu, dan pikiran begitu saja.
Demikian pula halnya dengan masalah penilaian dalam kurikulum berbasis kompetensi yang meliputi berbagai macam penilaian, sedangkan infrastruktur yang mendukung ke arah penilaian itu sendiri belum tersedia, sehingga sangat menyulitkan guru untuk dapat melaksanakan tugasnya secara maksimal dan tidak sekedar asal-asalan atau bersikap latah.
Idealnya, jauh hari sebelum kurikulum berbasis kompetensi (KBK) ini digulirkan, seyogyanya para stake holders yang berkompeten dalam masalah ini mempersiapkan infrastruktur-infrastrukturnya terlebih dahulu. Sehingga dengan adanya kurikulum baru ini betul-betul bisa memberikan kontribusi konstruktif bagi peningkatan kualitas pendidikan ke depan, bukan malah membuat suatu kebingungan bagi pelaksananya di lapangan. Semoga.

Dilema Sekolah Swasta

Kelangsungan hidup suatu sekolah baik negeri maupun swasta lebih bergantung kepada guru sebagai pelaksana edukasi di lapangan. Guru memegang peranan penting dalam menentukan kelangsungan hidup sekolahnya pada masa yang akan datang. Dalam hal ini, guru yang dimaksud adalah guru yang berkualitas. Karena hanya guru yang berkualitas yang dapat memberikan kontribusi sangat besar pada terwujudnya sekolah yang berkualitas. 

Guru yang berkualitas bukan hanya ditentukan latar belakang pendidikannya, tetapi proses dia menjadi guru sangat besar pengaruhnya pada pembentukan pribadi guru tersebut. Melalui pengalaman praktik belajar mengajar di dalam kelas, pembinaan, pelatihan, penataran pendidikan, dan kelompok kerja guru, guru dibentuk karakteristiknya untuk menjadi guru professional, yang memiliki kompetensi yang baik dalam bidangnya.

By design, pembentukan guru yang berkualitas membutuhkan waktu, biaya, dan tenaga yang tidak sedikit jumlahnya. Karenanya momentum rekrutmen guru menjadi sangat penting, agar sekolah bisa mengetahui lebih dini hal-hal yang berkaitan dengan motivasi, latar belakang akademis, dan loyalitas calon guru terhadap sekolah serta tingkat kompetensi terhadap bidang studi yang akan diampunya.

Sayangnya, semua proses yang dilakukan sekolah untuk membentuk guru yang berkualitas menjadi sering kandas di tengah jalan ketika guru dihadapkan pada pilihan lain berkaitan dengan peningkatan kualitas hidup dan karir profesinya sebagai guru. Momentum penerimaan CPNS, merupakan kondisi yang sangat dilematis bagi sekolah swasta antara mempertahankan guru atau memperbolehkan guru untuk mengikuti pendaftaran lowongan CPNS.

Dikatakan lematis, karena sekolah harus menanggung resiko ganda dalam waktu yang bersamaan. Di satu sisi, sekolah harus siap untuk kehilangan guru, mengangkat, dan membina guru baru untuk menggantikan posisi guru yang diterima sebagai PNS. Di sisi lain, sekolah juga harus bisa memberikan jaminan masa depan guru yang lebih baik atau minimal sesuai dengan tingkat kesejahteraan PNS ketika harus mempertahankan guru untuk tidak mengikuti pendaftaran CPNS.

Kondisi ini sangat berbeda jauh dengan kondisi di sekolah-sekolah negeri. Di sekolah-sekolah negeri ada-tidaknya pendaftaran CPNS tidak mempengaruhi kondisi sekolah, karena semuanya sudah diatur oleh dinas pendidikan terkait. Tetapi di sekolah-sekolah swasta, kondisi ini masih menjadi kendala kaitannya dalam meningkatkan kualitas sekolahnya. Bagaimana tidak, untuk membentuk guru yang berkualitas bukanlah merupakan sebuah kegiatan yang bersifat instant, tetapi membutuhkan proses dalam pembentukannya.

Kondisi dilematis sekolah swasta menjadi semakin bertambah, dengan disyahkannya RUU Guru dan Dosen oleh pemerintah pada rapat paripurna DPR RI tanggal 6 Desember 2005 lalu, yang salah satu point di dalamnya mengatur tentang peningkatan kesejahteraan guru. Hal ini juga yang menjadi daya tarik guru swasta untuk mendaftarkan dirinya menjadi PNS. Kecuali sekolah-sekolah swasta yang mampu, hal ini tentunya sangat membebani sekolah swasta yang tingkat kemampuannya biasa-biasa saja untuk melangsungkan keeksistensiannya dalam melayani pendidikan bagi generasi bangsa ke depan. 
Wallahu a’lam.

Sinergitas Sekolah dan Orangtua

Keberhasilan pendidikan anak didik, dalam praksisnya tidak bisa dilepaskan dari tiga komponen pokok, yaitu orang tua, guru, dan murid. Peran orangtua sangat signifikan relevansinya dengan keberhasilan pendidikan anak didik. Karena itu, peran mereka tidak boleh ditinggalkan dari usaha apa saja dalam dunia pendidikan. Terutama untuk jenjang pendidikan dasar hingga sekolah lanjutan tingkat atas.
Disadari atau tidak, faktor orangtua tidak bisa dilepaskan dalam proses pendidikan yang membutuhkan keterlibatan banyak pihak sebagai pendukung. Tak bisa dipungkiri, semua mengakui perlunya kerja sama antara orangtua dan sekolah atau pelibatan orangtua dalam proses pendidikan. 
Pelibatan orangtua dalam proses pendidikan tidak perlu dengan menunggu hingga timbulnya masalah dalam diri anak didik dan munculnya keterbatasan di pihak sekolah. Bila mau serius memberikan pendampingan yang nyata dan tepat terhadap anak didik, sejak pendaftaran sebagai siswa baru orangtua sudah harus dilibatkan secara penuh. Orangtua harus tahu persis tentang sekolah dan kebijakannya. Dan, sekolah harus sudah mulai memperkenalkan diri sebagai sebuah lembaga yang membantu peran orangtua dalam mendidik anak. 
Fenomena yang berkembang dalam masyarakat kita, sebagian besar masyarakat tidak mengetahui secara benar tentang sekolah dan kebijakannya. Kebanyakan orangtua menyerahkan sepenuhnya pendidikan anaknya kepada sekolah tanpa adanya komunikasi yang intensif mengenai perkembangan pendidikan anaknya dengan sekolah. Akibatnya komunikasi antara orangtua dan sekolah mengalami stagnasi. Bahkan kesan yang muncul di masyarakat sekolah tidak lebih dari sebuah lembaga pengganti peran orangtua.
Perlu diketahui bahwa sekolah bukanlah sebuah lembaga yang mengganti peran orangtua. Karena itu sekolah bukanlah sebagai tempat penitipan anak dari orangtua. Sekolah juga bukanlah tempat untuk melepaskan tanggung jawab orangtua atas anaknya. Walau saat ini amat biasa kedua orangtua bekerja mencari nafkah demi anak, sehingga tidak ada waktu bagi orangtua untuk mendampingi anak. 
Oleh karena itu, penyelenggaraan pertemuan-pertemuan, baik berkelompok atau perseorangan oleh pihak sekolah sebagai salah satu bentuk pelibatan orangtua dalam pendidikan, amat diharapkan. Pertemuan semacam ini hendaknya dilihat dalam perspektif pendidikan. Di situ, sekolah bersama orangtua berbicara bersama untuk menciptakan suasana kerja sama yang sinergis, yang saling mendukung dalam mendampingi anak yang sedang membutuhkannya. 
Pertemuan itu akan menjadi efektif dan bermanfaat bila dihadiri orangtua sendiri, bukan diwakilkan alias hanya sekadar untuk mengisi daftar presensi sebagai bukti memenuhi undangan sekolah. Pertemuan akan menyenangkan bila bersifat proaktif artinya, diadakan bukan karena ada masalah berat tentang anak. Pertemuan akan menumbuhkan kepercayaan bila terjadi dialog sehat, orangtua menerima informasi yang benar dari sekolah dan sekolah menerimanya keluh kesah serta saran-saran dari keluarga. 
Dalam rangka mewujudkan kerja sama yang lebih indah dalam pendampingan anak, orangtua juga diharapkan bersedia aktif memulai kontak dengan sekolah, tidak menunggu datangnya undangan sekolah. Dalam hal ini harus tercipta kesalingan dalam pendidikan. Bila demikian, niscaya sebuah keyakinan dasar yang sama akan tercipta, yaitu sekolah adalah pembantu orangtua dalam mendidik anak, karena seluruh pendidikan anak tidak dapat diserahkan atau diambil alih sekolah. Pada gilirannya, guru meneruskan apa yang sudah dimulai orangtua. 
Bila hal ini sudah terwujud, maka akan tercipta adanya simbiosis mutualisme antara sekolah, anak didik, dan orang tua. Masing-masing di antara mereka merasa saling diuntungkan dan tidak ada yang dirugikan. Orang tua merasa diuntungkan karena kebutuhan anaknya dapat dilayani secara baik oleh sekolah, anak didik merasa diuntungkan karena diperhatikan oleh guru maupun orangtuanya, demikian pula halnya sekolah merasa terbantu karena peran orangtua dalam mendampingi belajar anaknya di rumah.

Pendidikan Berkeadilan Sosial

Pasal 31 UUD 1945 (Hasil Amandemen IV Tahun 2002) berbunyi : setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Hal ini menegaskan bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan dengan tidak membedakan latar belakang sosial ekonominya. Pemerintah selaku penyelenggara pemerintahan memiliki tanggung jawab untuk memberikan fasilitas pendidikan kepada setiap warga negaranya dalam rangka mencerdaskan bangsa.
Akan tetapi dalam praktiknya, pernyataan di atas hanya menjadi sebuah klise, karena dalam kenyataannya banyak ditemukan anak bangsa yang tidak bisa dan mampu menikmati bangku pendidikan atau terkena drop out disebabkan ketidakmampuan ekonomi keluarga mereka untuk membiayai pendidikan. Tidak sedikit pula di antara mereka yang menghabiskan waktunya untuk membantu mencari nafkah orangtua, atau bahkan menjadi tulang punggung perekonomian keluarganya.
Ironisnya, di satu sisi ketika pembangunan nasional sudah dilaksanakan selama berpuluh-puluh tahun, ternyata masih ditemukan banyak anak bangsa yang masih belajar di bawah temaram lampu minyak dengan fasilitas belajar seadanya. Di sisi yang lain banyak juga anak bangsa yang dituntut untuk membayar biaya pendidikan yang berjuta-juta bahkan berpuluh-puluh juta besarnya, sedangkan orangtua mereka hanya berprofesi sebagai buruh atau pemulung yang penghasilannya sudah tentu besar pasak daripada tiang.
Potret sosial masyarakat menjadi semakin kontras ketika pada saat yang lain, banyak di antara masyarakat yang belajar dengan menggunakan fasilitas belajar yang jauh lebih memadai, didukung dengan sarana pembelajaran yang sudah dilengkapi dengan peralatan teknologi mutakhir. Bahkan untuk urusan biaya pendidikan pun, mereka tidak merasa kesulitan walaupun harus mengeluarkan biaya yang berpuluh-puluh juta jumlahnya karena memang secara ekonomi mereka tergolong keluarga yang mampu.
Kondisi ini tentunya telah mendikotomikan masyarakat pendidikan kita ke dalam dua lapisan sosial masyarakat yang berbeda secara sosial-ekonomis. Tidak dipungkiri juga, hal ini merupakan cerminan dari dunia pendidikan kita yang belum menunjukkan sebuah konsep pendidikan yang berkeadilan sosial. Suatu konsep pendidikan yang bisa memberikan kesempatan kepada setiap warga negara agar mereka memiliki kesempatan yang sama dalam hal pendidikan.
Implikasi dari konsep pendidikan yang masih berasaskan pada ketidakadilan sosial, akan membentuk paradigma berpikir masyarakat cenderung economic oriented. Artinya mindset yang terbentuk di kalangan masyarakat akan memandang pendidikan sebagai lahan investasi ekonomi keluarga, yang lebih berorientasi pada profit ekonomi. Dalam konteks pola pikir yang demikian, profit ekonomi pendidikan akan dapat dicapai ketika anak didik sudah menyelesaikan bangku pendidikannya.
Tatkala pendidikan masih berasas pada ketidakadilan sosial, maka pada akhirnya akan berakibat pendidikan hanya bisa dinikmati oleh sekelompok orang tertentu saja, yang notabene mampu secara ekonomi. Adapun bagi masyarakat yang tidak mampu secara ekonomi, mereka hanya akan menjadi kaum marginal atau powerless di negeri ini dikarenakan ketidakberdayaannya dalam membiayai pendidikan anak-anaknya. Dalam hal ini pemerintah dipandang gagal memenuhi hak warga negaranya dalam penyelenggaraan pendidikan.
Kenyataan di atas bisa jembatani dengan cara menerapkan konsep pendidikan berkeadilan sosial. Konsep pendidikan ini bisa diwujudkan dengan beberapa cara antara lain : pertama, dengan mengadakan gerakan subsidi silang biaya pendidikan dari masyarakat yang mampu secara ekonomi kepada masyarakat yang tidak mampu. Kedua, pemberian buku-buku pegangan sekolah secara gratis kepada siswa-siswa sekolah. Ketiga, perlunya perubahan paradigma berpikir masyarakat dengan menempatkan pendidikan formal sebagai sarana pencerahan peradaban warga masyarakat menuju ke arah peradaban yang lebih baik.

Quovadis Akselerasi di Tingkat Pendidikan Dasar

Wacana akselerasi pendidikan baik di tingkat pendidikan dasar maupun di tingkat menengah pernah menjadi wacana fenomenal dalam dunia pendidikan. Hampir berbagai media massa dari tingkat lokal sampai nasional pernah mempublikasikan tentang wacana tersebut. Berbagai argumentasi pro dan kontra seputar wacana akselerasi pendidikan pernah menghiasi hampir berbagai media baik cetak maupun elektronik. Ada apa sebetulnya dengan akselerasi pendidikan? Akselerasi pendidikan baik di tingkat pendidikan dasar maupun menengah merupakan suatu kebijakan yang dikeluarkan Depdiknas, yang tertuang dalam Undang-undang nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang kemudian ditindaklanjuti dengan PP Nomor 28 tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar dan Kepmendikbud nomor 0487/U/1992 untuk Sekolah Dasar. Esensi dari program akselerasi pendidikan adalah memberikan pelayanan kepada siswa yang mempunyai bakat istimewa dan kecerdasan luar biasa untuk mengikuti percepatan dalam menempuh pendidikannya. Untuk tingkat pendidikan dasar, siswa yang mempunyai bakat istimewa dan kecerdasan luar biasa dapat menempuh pendidikannya selama 5 tahun, sedangkan untuk tingkat menengah SLTP dan SLTU siswa dapat menempuh pendidikannya selama 2 tahun. Secara konseptual, program akselerasi ini cukup bagus relevansinya dalam pengembangan bakat dan kecerdasan anak, yaitu memberikan perhatian yang lebih kepada anak didik yang memiliki bakat istimewa dan kecerdasan yang luar biasa, sehingga mereka bisa mengembangkan ilmu pengetahuannya secara luas. Tetapi secara praksis, program akselerasi memiliki kelemahan yang sangat signifikan. Pada tataran praksisnya, akselerasi cenderung berorientasi pada tingkatan kognisi saja. Untuk di tingkat pendidikan menengah, implementasi program akselerasi ini mungkin tidak begitu bermasalah, karena sudah sesuai dengan tingkat perkembangan inteligensi anak. Tetapi sebaliknya, untuk di tingkat pendidikan dasar, implementasi program akselerasi masih perlu dipertanyakan. Mengapa demikian? Anak-anak yang berada di tingkat pendidikan dasar masih identik dengan dunianya, yaitu dunia bermain. Dus, belum saatnya anak dipaksakan untuk berpikir seperti halnya orang dewasa. Bloom mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah mengembang-kan tiga kemampuan dasar, yaitu aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Ketiga aspek tersebut merupakan sebuah entitas integral yang tidak dapat dipisah-pisahkan dan berdiri sendiri. Antara aspek yang satu dengan aspek lainnya saling berkaitan. Dengan demikian, keberhasilan pendidikan hanya akan dapat tercapai manakala ketiga aspek tersebut dapat diaplikasikan oleh guru secara seimbang dalam proses belajar mengajar. Berkaitan dengan program akselerasi, mau tidak mau anak didik kita dipacu untuk terus mengejar "nilai". Agar anak didik dapat mendapatkan nilai yang "baik", guru dituntut untuk dapat menyampaikan materinya pada anak didik dengan metode yang tepat dan singkat. Itupun ditambah dengan adanya pelajaran tambahan yang diharapkan dapat membantu anak didik agar nilainya tetap stabil di samping dapat mengejar materi pelajaran agar tidak tertinggal. Realitas ini mengindikasikan bahwa akselerasi hanya berkutat pada tataran kognisi. Sehingga dalam konteks ini, anak didik yang tingkat kognisinya lemah akan tertinggal, sebaliknya anak didik yang tingkat kognisinya kuat akan melaju terus. Akselerasi tidak bisa melihat "prestasi" anak didik yang sebenarnya, karena prestasi yang sudah ada didapat melalui suatu "perampasan" terhadap hak-hak anak didik. Fenomena sosial yang muncul di dalam sekolah penyelenggara program akselerasi adalah padatnya jam belajar anak didik dan banyaknya muatan pelajaran yang harus dipelajari. Semua itu bermuara pada "perampasan" hak-hak anak didik dalam kehidupannya. Anak didik kehilangan waktu untuk bermain maupun berinteraksi dengan lingkungannya. Hal ini pada akhirnya berakibat pada teralienasinya dan termarjinalkannya anak didik dari lingkungannya. Anak didik tidak memiliki kesempatan untuk belajar dengan dunianya atau dengan lingkungannya tentang, bagaimana menghargai orang lain, berempati terhadap orang lain, mengendalikan nafsu dan lain sebagainya, yang semuanya berkaitan dengan masalah emosionalnya. Padahal semua yang berkaitan dengan masalah emosional sangat penting sekali bagi seseorang apabila ia ingin berhasil. Aspek kemampuan kognisi saja tidak cukup bagi seseorang untuk dapat berhasil dalam kehidupannya. Daniel Goleman dalam bukunya Emotional Intelligence mengatakan bahwa keberhasilan seseorang tidak hanya ditentukan oleh aspek kecerdasan kognisi saja, tetapi aspek kecerdasan emosional memegang peranan yang sangat penting. Menurutnya intelektualitas tidak dapat bekerja dengan sebaik-baiknya tanpa disertai dengan kecerdasan emosional. Antara kecerdasan kognisi dan kecerdasan emosional merupakan satu kesatuan yang saling mengisi dalam membentuk keberhasilan seseorang. Akan tetapi, ketika aspek kognisi lebih dominan dalam praksisnya, maka pertanyaan yang muncul dalam pikiran kita relevansinya dengan program akselerasi adalah mau dibawa kemana anak-anak kita yang berada di tingkat pendidikan dasar? Pertanyaan ini patut kita cermati dan renungi, bagaimanapun juga akselerasi tidak membuat anak didik memiliki prestasi yang matang sesuai dengan tingkat perkembangan inteligensi anak, sebaliknya akselerasi telah melahirkan sebuah fenomena baru dalam dunia pendidikan kita, yaitu lahirnya prematurisme pendidikan. Lebih tragis lagi, ungkap Suyanto, model pendidikan "karbitan" seperti akselerasi sebenarnya akan menuai limbah pendidikan yang pada hakikatnya sungguh amat kontraproduktif dan bahkan juga kontraedukasi