Kamis, 14 Januari 2016

Kurikulum Berbasis Kebingungan

Laporan Bank Dunia yang melaporkan rendahnya kualitas pendidikan mengindikasikan bahwa sumber daya manusia kita masih sangat lemah, jauh di bawah sumber daya manusia negara-negara tetangga seperti Malaysia, Filiphina, Singapura, Thailand, dan Vietnam. Potret buram dunia pendidikan ini memacu segenap komunitas yang berada di jajaran Departemen Pendidikan Nasional berusaha sekuat tenaga untuk memperbaikinya.
Upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan terus menerus dilakukan dengan berbagai macam cara. Salah satunya dengan mengadakan pembaharuan kurikulum. Pembaharuan kurikulum merupakan upaya yang sangat signifikan karena banyak sorotan bahwa rendahnya kualitas pendidikan disebabkan faktor kurikulumnya, walaupun sebetulnya faktor-faktor lainnya juga banyak yang mempengaruhinya.
Untuk mensikapi hal di atas, pemerintah mengeluarkan satu kebijakan baru tentang perlunya perubahan kurikulum, dari kurikulum 1994 menjadi kurikulum berbasis kompetensi (KBK). Perubahan kurikulum ini bukan tanpa alasan, tetapi melihat kebutuhan outcomes pendidikan ke depan, dibutuhkan sumber daya manusia yang bukan hanya memiliki kecakapan kognisi saja, tetapi juga memiliki kecakapan emosional dan tingkat kompetensinya yang memadai. 
Sayangnya setiap terjadi perubahan kebijakan dari pusat apapun bentuknya terkesan seolah dipaksakan dan tergesa-gesa. Hal ini bisa dilihat dari tidak adanya perubahan-perubahan yang mendasar dalam hal infrastruktur pendukungnya. Sehingga walaupun secara konseptual, muatan kurikulum itu sendiri cukup bagus, tetapi ketika tidak disertai dengan persiapan-persiapan infrastrukturnya yang komprehensif, dikhawatirkan perubahan kurikulum tersebut tidak akan banyak memberikan kontribusi bagi peningkatan kualitas pendidikan.
Salah satu contoh konkret seperti terjadi sekarang ini, perubahan kurikulum 1994 menjadi kurikulum berbasis kompetensi (KBK). Sosialisasi kurikulum berbasis kompetensi sudah dijalankan terlebih dahulu, bahkan tidak sedikit sekolah yang sudah mengimplementasikannya. Tetapi, karena infrastruktur yang mendukung ke arah pelaksanaan kurikulum itu sendiri belum dipersiapkan secara matang, sehingga implikasinya, guru sebagai pelaksana di lapangan menemukan banyak kesulitan-kesulitan.
Belum match-nya antara pokok bahasan pada kurikulum 1994 dengan pokok bahasan pada kurikulum berbasis kompetensi pada kelas tertentu merupakan salah satu contoh kendala dari pelaksanaan kurikulum tersebut. Sehingga materi pelajaran yang sedianya sudah diajarkan di kelas sebelumnya harus diajarkan kembali di kelas berikutnya. Hal ini tentu hanya menghabis-habiskan biaya, waktu, dan pikiran begitu saja.
Demikian pula halnya dengan masalah penilaian dalam kurikulum berbasis kompetensi yang meliputi berbagai macam penilaian, sedangkan infrastruktur yang mendukung ke arah penilaian itu sendiri belum tersedia, sehingga sangat menyulitkan guru untuk dapat melaksanakan tugasnya secara maksimal dan tidak sekedar asal-asalan atau bersikap latah.
Idealnya, jauh hari sebelum kurikulum berbasis kompetensi (KBK) ini digulirkan, seyogyanya para stake holders yang berkompeten dalam masalah ini mempersiapkan infrastruktur-infrastrukturnya terlebih dahulu. Sehingga dengan adanya kurikulum baru ini betul-betul bisa memberikan kontribusi konstruktif bagi peningkatan kualitas pendidikan ke depan, bukan malah membuat suatu kebingungan bagi pelaksananya di lapangan. Semoga.

0 komentar:

Posting Komentar