Kamis, 14 Januari 2016

Guru, Objek Kambing Hitam

Begitu malangnya nasib guru. Guru sering dijadikan objek kambing hitam dari “kegagalan pendidikan” negeri ini. Ketika media massa ramai mempublikasikan tentang peristiwa tawuran, perkosaan, penganiayaan, perampokan, dan pembunuhan yang dilakukan kaum pelajar, gurulah yang pertama kali mendapat sorotan. Guru dianggap tidak berhasil dalam mendidik anak didiknya.
Demikian pula, ketika Bank Dunia melaporkan hasil penelitiannya tentang nilai rapor kualitas pendidikan kita yang masih rendah dibanding negara-negara tetangga lainnya, seperti Malaysia, Filipina, Kamboja, Thailand, dan Vietnam, guru juga yang menjadi kambing hitamnya. Sorotan demi sorotan negatif yang ditujukan kepada guru seakan tidak kunjung reda. 
Ketika puluhan ribu guru dari Jawa Barat berdemo mendatangi Gedung MPR/DPR, Istana Presiden, dan Gedung Depdiknas, yang disulut oleh pengumuman pemerintah tentang tunjangan jabatan dan tunjangan fungsional yang dirasa tidak adil, menghargai pejabat struktural yang selama ini menindas mereka dengan tunjangan jabatan yang jumlah melangit, dan memberi tunjangan fungsional yang tidak berarti kepada guru. Mereka mendapat kecaman dan cemoohan. 
Singkatnya, apapun yang dilakukan guru, baik yang terjadi di dalam kelas maupun di lingkungan masyarakatnya, selalu menjadi sorotan dari masyarakat luas. Parahnya lagi masyarakat selalu mensejajarkan guru layaknya seperti malaikat yang tidak akan pernah berbuat salah. 
Guru memang mudah dijadikan obyek kambing hitam. Ini bukan tanpa alasan, guru memiliki peran yang amat signifikan bagi setiap keberhasilan proses pembelajaran. Tetapi, masyarakat kadang lupa bahwa guru juga adalah manusia biasa yang tidak bisa lepas dari kesalahan, sehingga segala hal yang berkaitan dengan ketidakberhasilan pendidikan selalu ditimpakan kepada guru.
Masyarakat seharusnya bisa menilai secara proporsional bahwa banyak faktor yang menyebabkan ketidakberhasilan pendidikan baik faktor internal maupun eksternal. Sedangkan guru hanya merupakan pelaksana di lapangan saja. Dengan demikian, tidak t epat manakala ketidakberhasilan pendidikan selalu dilihat dari sisi sumber daya manusianya, tanpa melihat faktor-faktor pendukung lainnya.
Kita harus sadar bahwa guru adalah manusia biasa yang tidak bisa dilepaskan dari berbagai kebutuhan ekonomi demi kelangsungan hidup keluarganya. Sehingga sangat tidak tepat manakala kita banyak menuntut kualitas pendidikan yang lebih baik, sementara kualitas ekonomi sumber daya manusianya kurang diperhatikan. 
Dengan demikian, untuk memperbaiki kualitas pendidikan tidak cukup hanya dengan menuntut, tetapi upaya peningkatan kesejahteraan sumber daya manusianya jauh lebih besar implikasinya terhadap keberhasilan pendidikan. Sehingga rumor-rumor yang beredar selama ini tentang masih adanya guru ngojek, guru nglaju, guru nyambi, dan rumor-rumor negatif lainnya bisa dihilangkan, karena secara ekonomis kebutuhannya sudah dipenuhi.

0 komentar:

Posting Komentar